Diangkat menjadi Guru ASN, merupakan cita-cita semua guru yang sekarang masih menjadi tenaga honorer.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2018, membuka peluang bagi guru honorer untuk diangkat menjadi PNS/ASN melalui skema PPPK. Pemerintah bersama DPR menganggap hal ini sebagai solusi terbaik, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru.
Saya sangat setuju, mengingat banyak sekali guru honorer yang tersebar di sekolah-sekolah swasta dan negeri, yang kehidupannya belum tersejahterakan oleh negara. Sementara jasa dan usaha mereka dalam mencerdaskan anak bangsa tidak sebanding dengan kesejahteraan hidupnya.
Tercatat pada tahun 2020 terdapat 1.516.072 guru honorer di seluruh Indonesia. Sebanyak 847.973 guru honorer berada di sekolah negeri dan 668.099 di sekolah swasta. Sedangkan di tahun 2021 ini, dari seleksi pertama baru 100.000 saja yang akan diangkat menjadi ASN PPPK. Berarti target ketercapaiannya masih jauh.
Sebagai guru, saya berharap kepada pemerintah agar segera mempercepat proses pengangkatannya melalui kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pemerataan kesejahteraan guru.
***
Saya bersyukur sudah diangkat sebagai guru PNS pada salah satu Sekolah Negeri di Kecamatan Sukanagara, Cianjur Selatan. Tidak terasa sudah lebih dari 10 tahun saya mengabdi di Sekolah tersebut.
Menjadi guru sebetulnya bukan cita-cita utama saya. Dulu sewaktu SD, ketika ditanya, apa cita-cita mu? Saya jawab, ingin menjadi Dokter.
Jaman itu ketika masih seumuran SD, menjadi Dokter memang menjadi kelaziman cita-cita anak-anak. Mungkin karena doktrin orang tua, karena dokter itu dianggap banyak duitnya. Dan, memang sampai sekarang jadi Dokter itu pasti kaya raya. Berbeda dengan cita-cita menjadi guru, kalau dulu mejadi guru itu duitnya sedikit, ya kalau sekarang, sama saja guru itu duitnya sedikit...hehehe
Hingga bangku SMP selesai, cita-cita saya tidak berubah, masih tetap ingin jadi Dokter, tapi jadi dokternya ditambah menjadi Dokter yang sholeh, wkwkwk...Mungkin pengaruh lingkungan sekolah yang plus pesantren, jadinya karakter bau-bau religius saya mulai tumbuh.
Namun, setelah lulus SMA, cita-cita saya mulai terpatahkan, kandas di tengah jalan. Hasil UMPTN ke jurusan kedokteran, dinyatakan tidak lulus. Kemudian saya daftar lagi, memilih jurusan lainnya yaitu Teknik Sipil, sama juga hasilnya tetap gagal total.
Karena sudah mentok dengan keadaan, akhirnya saya bersandar pada takdir-Nya. Biasa, karakter manusia seperti saya memang gitu, kalau sudah mentok baru ingat Tuhan. Namun, ternyata "kepasrahan" itu memberikan hikmah yang luar biasa untuk proses kehidupan saya selanjutnya
Dibalik kepasrahan tersebut, saya tetap tidak patah arang, pokoknya saya harus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Nah, singkat cerita, Alhamdulillah saya masuk ke IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (sekarang UIN) di Fakultas Tarbiyah (Keguruan) jurusan Pendidikan Agama Islam.
Dinamika perkuliahan di UIN Bandung, membentuk dan mengantarkan saya menjadi guru hingga sekarang. Tentunya berkat doa serta dukungan dari kedua orang tua dan guru-guru saya.
***
Perjalanan serupa barangkali dialami juga oleh kebanyakan orang. Yang sekarang menjadi guru, belum tentu dulunya ia bercita-cita menjadi guru. Atau juga sebaliknya, dulunya bercita-cita menjadi guru sekarang malah menjadi politisi, pengusaha atau yang lainnya. Bagitulah dinamika kehidupan.
Siapa pun diri kita sekarang, menjadi apa pun, itu terbentuk karena dialektika kehidupan yang kita alami. Berbagai benturan antara cita dan realita pasti sering terjadi.
Saya sepakat dengan Tan Malaka, ia mengungkapkan sebuah rumus kehidupan bahwa manusia terbentuk karena ia mengalami banyak "benturan". Katanya, rumus kehidupan itu "terbentur, terbentur, terbentur dan akhirnya terbentuk".
Oleh karenanya jika kita mengalami banyak benturan, atau permasalahan dalam kehidupan ini, tidak usah patah semangat, itu merupakan proses terbentuknya diri kita agar menjadi lebih baik.
Ibarat membuat martabak telor yang lezat. Adonannya dilempar, dibenturkan berkali-kali hingga membulat, kemudian dimasukan penggorengan, ditambah olahan lalu digoreng, sesudah matang baru kita bisa menikmatinya.
Dulu saya pernah dijewer oleh guru karena tidak mengerjakan PR, ditegur karena pernah kesiangan, dihukum karena kabur, wajib ikut kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya. Semasa kuliah, berjibun tugas ngantri setiap mata kuliah, skripsi diotak-atik pembimbing dan penguji. Semua itu merupakan benturan-benturan agar terbentuk pribadi yang tangguh.
Sekarang saya menyadarinya bahwa proses benturan itu sebagai dialektika kehidupan, yang setiap orang pasti melewatinya. Anggaplah semuanya sebagai materi dialektis, menuju terbentuknya diri kita yang kuat, bisa bertahan dalam berbagai situasi. Dihadapkan pada kegagalan tidak putus asa, dan ketika berhasil tidak jumawa.
Pada akhirnya, dari semua proses perjalanan suci nan melelahkan di atas, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan semua guru. Sebab, di ujung perjalanan panjang tersebut, saya bisa menemukan diri saya sebagai seorang guru.
***
Proses seleksi pengangkatan guru ASN PPPK yang sangat melelahkan ini, yakini itu sebagai sebuah proses dialektika. Semoga kita diberi anugerah oleh Tuhan YME, berupa kekuatan dalam berusaha menghadapi banyak benturan berbagai macam realita. Dan, Pemerintah segera mempercepat proses pengangkatan guru honorer menjdi guru ASN PPPK.


0 komentar
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100